Dinamikanews.net- Pembangunan di Tangerang, yang kerap diagung-agungkan sebagai gerbang metropolitan penyangga Jakarta, sesungguhnya menyimpan ironi mendalam.
Di balik kilau gedung-gedung pencakar langit dan gurita infrastruktur yang terus merayap, terkuak wajah carut marut yang memilukan, sebuah manifestasi nyata dari kegagalan perencanaan dan abainya keberpihakan terhadap rakyat.
Pangkal persoalan ini terletak pada perencanaan yang serampangan dan egosentris. Proyek-proyek raksasa, mulai dari pusat perbelanjaan megah hingga kawasan residensial premium, digelontorkan tanpa visi komprehensif mengenai daya dukung lingkungan dan dampak sosial yang ditimbulkannya.
Akibatnya, alih-alih memberikan solusi, pembangunan ini justru memicu krisis multidimensional: kemacetan kronis yang melumpuhkan produktivitas, banjir musiman yang merenggut harta benda dan ketenangan warga, serta lenyapnya ruang terbuka hijau yang seharusnya menjadi paru-paru kota. Ini bukan lagi sekadar ketidakselarasan, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan.
Sektor transportasi adalah bukti nyata betapa Tangerang telah gagal merancang mobilitas yang manusiawi. Meskipun ada geliat pengembangan transportasi massal, percepatan pertumbuhan kendaraan pribadi jauh lebih agresif.
Penataan lalu lintas yang kedodoran, ditambah dengan menjamurnya parkir liar yang dibiarkan, serta sistem angkutan umum yang amburadul, semakin mengikat warga dalam belenggu kemacetan abadi. Waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk kemajuan, justru terkuras habis di jalanan, sebuah pemborosan kolektif yang tak termaafkan.
Lalu, bagaimana dengan lingkungan? Ini adalah noda hitam yang paling mencolok. Nafsu pembangunan yang membabi buta telah mengorbankan ekologi. Lahan resapan air yang krusial kini berubah menjadi beton.
Persoalan sampah yang tak kunjung teratasi, diperparah oleh minimnya edukasi dan penegakan hukum, telah menjadikan Tangerang sebagai salah satu kontributor polusi yang signifikan.
Kualitas udara dan air terus memburuk, mengancam kesehatan generasi sekarang dan mendatang. Ini adalah kriminalisasi lingkungan yang harus dipertanggungjawabkan.
Yang lebih mengkhawatirkan, partisipasi publik dalam proses pembangunan seringkali hanya menjadi formalitas belaka. Keputusan-keputusan strategis, yang berdampak langsung pada hajat hidup orang banyak, kerap diambil di balik meja, jauh dari suara dan aspirasi masyarakat.
Ketika suara rakyat diabaikan, maka pembangunan akan kehilangan legitimasi moralnya dan hanya menjadi alat bagi segelintir kepentingan.
Tangerang sesungguhnya memiliki potensi tak terbatas. Namun, potensi itu terancam digerogoti oleh kebijakan yang tidak visioner dan abai. Sudah saatnya pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan melakukan introspeksi mendalam, bukan sekadar basa-basi.
Penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, revisi tata ruang yang berpihak pada rakyat dan lingkungan, serta pelibatan masyarakat secara substantif adalah keharusan mutlak. Tanpa langkah-langkah drastis ini, gemerlap pembangunan di Tangerang hanyalah fatamorgana yang menyembunyikan kerapuhan dan penderitaan.