Dinamikanews.net | Warga di Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, merasa tidak nyaman dan khawatir akibat ulah debt collector atau yang dikenal sebagai “mata elang” yang masih berkeliaran di wilayah tersebut. Mereka meminta Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pemkab Tangerang untuk menindak tegas praktik penarikan kendaraan secara paksa yang sering terjadi di jalanan. Selasa, (9/12/2025).
Keluhan Warga di Jalan Griya Karawaci
Salah satu warga bernama Taslim, melihat seorang ibu-ibu dihentikan secara paksa di jalan Griya Karawaci. Tidak hanya itu, saat dihentikan, debt collector tersebut datang hingga 4 orang atau lebih, yang membuat rasa tidak nyaman dan khawatir terus menghantui.
“Taslim berharap APH dan Pemkab Tangerang sikapi keluhan masyarakat terkait mata elang, agar nyaman saat berkendara di jalan,” tegas Taslim.
Ketua Forum Jurnalis Binong menambahkan bahwa jika ada debt collector yang menarik paksa kendaraan di jalan, APH harus tindak tegas. Tindakan pemaksaan yang meresahkan di jalan memiliki unsur pidana, terutama jika disertai ancaman atau pemerasan.
“Mata elang tidak boleh menarik kendaraan secara paksa di jalan karena tindakan tersebut ilegal dan melanggar hukum. Penarikan kendaraan hanya dapat dilakukan secara resmi melalui eksekusi pengadilan atau secara suka rela oleh pemilik kendaraan yang tertunggak hutangnya,” jelasnya.
Selain penegakan hukum, edukasi kepada masyarakat juga penting. Banyak warga tidak mengetahui hak-haknya dalam hubungan pembiayaan, sehingga sering menjadi korban intimidasi. Pemerintah daerah perlu memberikan pendampingan dan kanal pengaduan yang mudah diakses.
“Situasi ini bukan sekadar masalah antara debitur dan perusahaan pembiayaan, tetapi sudah menjadi persoalan sosial dan hukum yang menuntut perhatian serius Pemkab Tangerang,” imbuhnya.
Ketua Forum Jurnalis Binong juga menekankan bahwa Sertifikat Profesi Pembiayaan Indonesia (SPPI) yang dimiliki debt collector hanya untuk menagih hutang tertunggak, bukan untuk menarik kendaraan paksa. Jika mereka mengaku memiliki sertifikat, itu bukan untuk penarikan paksa.
Pemkab Tangerang seharusnya tidak memandang enteng fenomena ini. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah urusan wajib pemerintah daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, Pemkab Tangerang bersama kepolisian perlu langkah tegas.
Langkah mendesak termasuk membentuk satuan tugas khusus penertiban debt collector yang berkolaborasi dengan kepolisian dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Satgas ini harus melakukan pendataan, pengawasan, dan penindakan terhadap perusahaan pembiayaan yang menggunakan penagih tanpa izin.
Penarikan kendaraan atau barang jaminan harus sesuai hukum, bukan dengan ancaman atau kekerasan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, penarikan objek jaminan fidusia hanya bisa dilakukan jika ada sertifikat fidusia dan debitur mengakui wanprestasi. Jika tidak, ini bisa dikategorikan perbuatan melawan hukum, sesuai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Kabupaten Tangerang dikenal sebagai kabupaten gemilang, maju dan beradab, namun kemajuan itu tidak bermakna jika warga hidup dalam ketakutan akibat penagihan brutal. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakan dengan menghadirkan rasa aman dan kepastian hukum.
“Sudah saatnya Pemkab Tangerang berdiri di garis depan menertibkan praktik debt collector ilegal, menegakkan aturan, dan memastikan hukum bekerja untuk melindungi warga, bukan menakut-nakuti mereka,” tegas Ryan.
Red Kjk

















