Tangerang, Dinamikanews.net – Di tengah arus globalisasi dan modernitas, sebagian generasi muda mulai melupakan makna esensial Suran. Padahal, tradisi ini justru relevan untuk menjawab krisis spiritual dan sosial hari ini.
Sebagai Upaya revitalisasi budaya Suran, perlu melakukan melalui pendidikan budaya, penguatan komunitas adat, serta pelibatan generasi muda dalam praktik kebudayaan secara aktif dan kreatif.
Budaya Suran adalah salah satu tradisi penting dalam khazanah budaya Jawa yang diselenggarakan setiap bulan Sura, bulan pertama dalam penanggalan Jawa atau Hijriyah. Tradisi ini bukan sekadar seremoni adat, melainkan manifestasi dari spiritualitas, penghormatan terhadap leluhur, dan upaya menjaga keharmonisan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Dalam masyarakat Jawa, Suran menjadi momen sakral yang sarat makna filosofis dan simbolik, yang diwariskan lintas generasi sebagai bentuk perawatan identitas budaya.
Makna Bulan Sura dalam Kosmologi Jawa
Bulan Sura (berasal dari bahasa Arab “Asyura”) dianggap sebagai bulan keramat dan penuh pantangan. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa Sura adalah waktu yang sangat baik untuk melakukan introspeksi, ritual pembersihan diri, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam tradisi keraton, Sura menjadi momen penting bagi kegiatan spiritual dan ritual kerajaan, seperti Tapa Bisu Mubeng Beteng di Keraton Yogyakarta.
karena itu, Filosofi bulan Sura diidentikkan dengan siklus kehidupan dan kematian, kebeningan batin, dan kesadaran spiritual. Oleh karena itu, masyarakat Jawa sangat menghindari kegiatan yang berorientasi duniawi seperti pesta pernikahan, perayaan besar, atau kegiatan hura-hura selama bulan ini.
Ragam Tradisi Suran di Masyarakat Jawa
1. Tirakatan dan Malam Satu Sura. Warga berkumpul di langgar, masjid, atau rumah tetua adat malam menjelang tanggal 1 Sura untuk berdoa bersama, membaca doa atau tahlil, dan merenungkan perjalanan hidup. Tirakatan mencerminkan laku spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan mengenang jasa para leluhur.
2. Mubeng Beteng. Tradisi ini khusus dilakukan oleh abdi dalem dan masyarakat Keraton Yogyakarta. Peserta melakukan ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kraton dalam keheningan total (tapa bisu), sebagai bentuk laku prihatin dan pembersihan batin.
3. Jamasan Pusaka. Tradisi membersihkan atau memandikan benda-benda pusaka (keris, tombak, tombak, tombak, dll). Bagi masyarakat Jawa, pusaka bukan hanya benda warisan, tetapi memiliki nilai spiritual dan simbolis sebagai perantara hubungan manusia dengan sejarah, leluhur, dan kekuatan kosmis.
4. Sedekah Bumi dan Ruwatan Di beberapa daerah, tradisi Suran juga disertai dengan sedekah bumi atau ruwatan. Sedekah bumi dilakukan sebagai wujud syukur atas hasil panen atau berkah hidup, biasanya dengan menggelar bancakan atau kenduri. Ruwatan adalah prosesi pembersihan diri dari bala atau nasib buruk, biasanya melibatkan pagelaran wayang kulit atau upacara adat tertentu.
5. Suran di Gunung Lawu dan Sendang-Sendang Sakral Banyak peziarah mendaki Gunung Lawu atau mengunjungi sendang (mata air keramat) seperti Sendang Beji, Sendang Drajat, atau Sendang Tirto Husodo. Gunung dan air dianggap sakral dalam kosmologi Jawa, dan ziarah ke tempat-tempat ini diyakini dapat membersihkan jiwa dan memohon keselamatan hidup.
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Tradisi Suran
1. Spiritualitas dan Laku Hidup Suran mengajarkan pentingnya laku prihatin, introspeksi, dan hidup sederhana. Tradisi ini menjadi ruang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, menyucikan hati, dan menata ulang niat dalam menjalani kehidupan.
2. Penghormatan terhadap Leluhur Tradisi tahlilan dan ziarah kubur menjadi bagian penting dalam Suran. Masyarakat Jawa percaya bahwa menjaga hubungan spiritual dengan leluhur adalah bagian dari menjaga keseimbangan hidup dan keberkahan.
3. Harmoni Sosial dan Alam Melalui kenduri dan sedekah bumi, masyarakat diajarkan untuk menjaga hubungan sosial yang erat dan menghargai alam sebagai sumber kehidupan. Tradisi ini merekatkan ikatan komunitas dan membangun solidaritas sosial.
4. Identitas dan Ketahanan Budaya Budaya Suran adalah cermin dari ketahanan budaya lokal dalam menghadapi arus modernisasi. Ia menjadi medium pewarisan nilai-nilai luhur dan identitas budaya Jawa kepada generasi muda.
Budaya Suran bukan sekadar warisan adat, melainkan representasi nilai-nilai luhur yang mendalam: spiritualitas, kearifan, dan keselarasan hidup. Masyarakat Jawa memaknai Suran sebagai momen kontemplasi dan pelestarian budaya. Di tengah zaman yang terus berubah, Suran menjadi lentera kearifan lokal yang menuntun manusia pada kedalaman makna hidup dan jati diri.