lensabumi.com- Sabar Tambunan (56) terhentak. 15 Februari 2024 sekitar pukul 10.00 WIB HP-nya berdering.
Di ruangan sebuah kantor di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, di ujung telepon terdengar suara anak muda yang membuat tangannya gemetar.
Air matanya tumpah ruah seketika begitu mendengar kabar kalau Rosma Tambunan (61), kakak kandungnya tewas dalam kondisi mengenaskan.
“Bere (ponakan) saya yang di Bandung mengabarkan Rosma dibunuh,” ucap Sabar mengenang peristiwa 6 bulan silam kepada Redaksi Heloindonesia saat bertemu di sebuah tempat di kawasan Jakarta Pusat pada Rabu (10/7/2024) sore.
Sabar mengaku heran mengapa AM, suami korban tidak mengabarkan kepadanya secara langsung terkait kematian Rosma.
“Kenapa ipar tidak menghubungi saya, tapi justru anaknya yang di Bandung yang menelepon,” kata Sabar.
Saat itu juga, pria asli Batak tinggal di Bekasi ini bergegas untuk siap-siap pergi ke Pasaman Barat bersama ponakannya Jefriansyah Marpaung dan Joy Marpaung, anak dari Rosma Tambunan.
Sayangnya, Sabar tak bisa berangkat hari itu juga. Sebab, sang ponakan ingin pergi bareng bersamanya ke Pasaman Barat.
Baru keesokan paginya (16/7/2024), dia bersama Jefri dan Joy mendapat tiket pesawat dan terbang ke Padang, Sumatera Barat.
Dilanjutkan menggunakan kendaraan darat, mereka menuju kota Kabupaten Pasaman Barat.
Begitu sampai di Pasaman Barat, korban sudah berada di rumah sakit.
Sabar pun menyampaikan pesan kepada iparnya, AM bahwa tak cukup korban diperiksa di rumah sakit Pasaman saja.
Dia meminta, korban diotopsi untuk mengetahui penyebab kematiannya secara utuh.
“Rumah sakit yang bisa melakukan otopsi hanya ada di Kota Padang, maka korban dibawa ke sana,” ujar Sabar.
Setelah dilakukan autopsi, korban pun langsung dibawa ke Barus, Sibolga, Sumatera Utara atau kampung halaman suaminya, AM untuk dimakamkan.
Saksi Mata
Kematian Rosma Tambunan (61) di barak permanen PT Gersindo Minang Plantation (GMP), Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kamis (15/2/2024) pagi, hingga kini masih misterius.
Penyidik dari Polres Pasaman Barat yang menyelidiki kasus ini belum berhasil menangkap pelaku.
Polisi juga belum bisa mengungkap motif di balik pembunuhan sadis terhadap perawat yang bekerja di klinik perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit tersebut.
Sabar menuturkan, kejadian bermula ketika Rosma hendak mencuci pakaian kotor sekitar pukul pukul 08.50 WIB.
Nah saat itulah pelaku datang dan secara membabi buta menusuk korban menggunakan pisau dapur.
Diduga pelaku sudah mempelajari situasi lingkungan dan rumah korban sebelum melakukan aksinya.
Dan kebetulan lingkungan di pagi hari itu sangat sepi.
Dari bekas luka tusukan yang didapat dari tubuh korban, diduga pelaku melakukan pembunuhan secara kejam dan penuh amarah.
Sabar juga menduga korban sempat melakukan perlawanan dan berusaha untuk memegang bagian pisau yang tajam.
“Ada luka di telapak tangan, bekas memegang pisau yang tajam. Ada perlawanan. Kemudian luka di perut, dada, punggung dan beberapa bagian di tubuh lainnya,” tutur Sabar.
Dari video yang diterima redaksi, korban tewas dalam kondisi telentang di ruangan dapur rumah bangunan berwarna putih yang disebut barak.
Darah berceceran di lantai dapur yang lengkap dengan kompor dan peralatan lainnya.
Terdapat juga sebuah kursi plastik berwarna putih berada di atas kepala korban yang juga ikut tercecer darah.
Di lantai bagian luar juga terdapat bekas darah yang membentuk tapak sepatu yang diduga milik pelaku.
Berdasarkan keterangan seorang saksi mata, pelaku bercirikan tinggi kurus, memakai helm hitam dan berlari ke semak-semak.
Namun belakangan, helm hitam itu juga menjadi barang bukti kepolisian.
“Saksinya tukang sampah. Saksi melihat jelas pelaku berlari keluar rumah dan ke arah rerumputan yang tumbuh rimbun,” ungkap Sabar.
Kuat dugaan pembunuhan terhadap Rosma Tambunan dilakukan dengan perencanaan yang matang.
Namun berdasarkan teori, tidak ada kejahatan yang sempurna.
Aksi pelaku sempat dilihat saksi mata dan meninggalkan jejak percikan darah.
Ada dua DNA darah berbeda yang ditemukan dari lokasi kejadian.
“Selain darah korban, ada darah lain yang menempel di pagar dan diduga darah pelaku,” jelas Sabar.
Hal ini diketahui setelah dilakukan pemeriksaan atau pengujian di Puslabfor Polri cabang Polda Riau.
Dari dua jenis darah itu, DNA darah Sabar dan Jefriansyah dicek dan dinyatakan sama.
Sementara percikan darah satunya diduga kuat milik pelaku.
Indikasi lainnya bahwa pembunuhan ini dilakukan terencana dan sarat atau penuh dengan dendam adalah tidak adanya harta benda di rumah korban yang hilang.
“Tidak ada barang yang hilang. Ada uang Rp 5 juta di tas pun tak diambil,” terang Sabar.
Tetangga di seputaran barak permanen itu pun bukan berarti tidak mendengar jeritan atau teriakan saat pelaku menghabisi nyawa korban secara sadis.
“Saat kejadian, para lelaki pergi bekerja ke kebun sawit, anak-anak bersekolah. Tetangga mengaku ada yang mendengar teriakan. Tapi nggak ada yang berani ke rumah korban, karena mereka orang-orang tua,” papar Sabar.
Sabar mengatakan bahwa sudah banyak kasus pembunuhan di lokasi itu dan tidak bisa terungkap.
“Bukan hanya pembunuhan terhadap kakak saya saja. Menurut keterangan warga sekitar, sudah banyak kasus pembunuhan seperti ini di kawasan perkebunan sawit dan tidak berhasil diungkap polisi,” terang Sabar